Sabtu, 22 Maret 2014

Alasan Memilih Pasangan Pada Perkawinan Campuran

Alasan Memilih Pasangan Pada Perkawinan Campuran

Oleh Dr.Leila Mona Ganiem

Kebanyakan orang melihat perkawinan campuran cenderung negative, tidak dapat diterima, tidak normal.

Riset Mills & Daly (1995) menyimpulkan bahwa baik pria maupun wanita memandang negatif pada hubungan antarras.
Dalam kegiatan praktis seperti bisnis atau pertemanan, hubungan antarbudaya dapat diterima.
Richard, orang Inggris, misalnya, merasa lebih memahami dunia dan pengetahuan baru setelah bergaul dengan orang Indonesia, di Jakarta. Pandangannya tentang stereotype pada budaya Indonesia juga kian berkurang. Richard juga merasa lebih efektif dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dalam hubungannya dengan orang Indonesia maupun budaya lain. Meski telah banyak studi tentang manfaat dari hubungan antarbudaya, tapi sikap akan anti hubungan antarras masih ada. Kemesraan hubungan pertemanan, dapat berlanjut pada perkawinan campuran.
Pastinya ada alasan-alasan mengapa mereka akhirnya menikah. Karena alasan-alasan itu dekat dengan komunitas ini, mari kita kupas lebih dalam.

Kaum perempuan memilih kawin dengan pasangan campuran karena merasa memiliki minat yang sama dengan pasangannya. Ketertarikan fisik, kesukaan akan hiburan yang sama dan bahkan kesamaan sosial ekonomi juga merupakan alasan pemilihan pasangan.

Alasan yang menyebut tertarik karena 'ras pasangan' cenderung kurang dibandingkan karena alasan 'nonras' (Lewis, Yancey, and Bletzer 1997). Artinya, sama seperti pasangan pada umumnya,pasangan perkawinan campuran tertarik pada pasangannya karena memandang atas kesamaan diantara mereka, dibandingkan atas perbedaannya. Masalah akulturasi budaya juga berkonstribusi. Orang yang melebur atau asimilatif pada suatu budaya, cenderung berfikiran positif pada perkawinan campuran.

Alasan lain adalah karena perolehan status kewarganegaraan. Pada negara-negara tertentu, memungkinkan adanya hal ini. Perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing dapat menjadi sponsor suaminya untuk menjadi warga negara Indonesia.

Alasan lain yang juga unik dan kerap disampaikan sambil lalu adalah 'perbaikan keturunan'. Mungkin saja terjadi karena ada perasaan superioritas dari etnis tertentu atau yang biasa disebut etnosentrisme. Sebuah riset menyimpulkan bahwa kebencian pada dirinya sendiri atau suatu bentuk perlawanan merupakan alasan lain yang disebut.

Migran berpotensi lebih tinggi untuk melakukan perkawinan campuran dengan masyarakat setempat.
Orang tua yang berteman dengan beragam etnis juga mendukung keinginan melakukan perkawinan campuran. Sikap keluarga yang terbuka akan kencan atau perkawinan campuran juga mendukung hubungan ini

Beberapa riset menunjukkan bahwa orang kulit hitam dan kulit putih (kaukasian) cenderung jarang melangsungkan perkawinan karena adanya kepercayaan negatif yang cukup lama terjadi pada kedua kelompok ini.Secara umum Kaukasian cenderung tidak menyetujui perkawinan antarras, sementara orang kulit hitam cenderung menyetujuinya.

Orang Asia-Amerika, mengalami kesulitan dalam perkawinan campuran. Kitano, Fugino, and Sato (1998) dalam risetnya menyimpulkan bahwa masalah rasial lebih banyak pada mereka dibandingkan pada kelompok etnis lain di Amerika.
Dulu, Hukum yang melarang perkawinan antarras antara orang Asia dan Kaukasia cukup umum di Amerika. Misalnya ditahun 1901, California memperpanjang Undang-undang Peraturan Perkawinan tahun 1850 dengan memasukkan orang Mongolia (China, Jepang, Korea) dan tahun 1933, undang-undangnya diperpanjang dengan memasukkan orang Malay (misalnya Philipina) Undang-undang tersebut, telah berubah. Perkawinan campuran kian terbuka. Namun demikian, persepsi negative dari masyarakat memang lambat berubahnya. Menurut Bok-Lim Kim (1998), setelah perang dunia kedua, perkawinan antara tentara orang Amerika dengan orang Asia (khususnya perempuan dari Jepang, Korea Selatan, Philipina dan Vietnam) kian tinggi. Umumnya perkawinan tersebut terjadi karena rendahnya status sosialekonomi dari perempuan yang tinggal didekat basis militer tentara Amerika. Alasan lain karena rendahnya self esteem mereka sebagai akibat dari kondisi ekonominya yang rendah. Umumnya perkawinan tersebut terjadi karena mereka memiliki keberanian dan keoptimisan dalam menghadapi kesulitan yang mereka hadapi atas perbedaan budaya, bahasa serta kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat kedua negara. Selain itu, yang paling berat tentunya pada perbedaan budaya diantara keduanya. Dan dalam hal ini perempuan Asia cenderung menghadapi lebih berat beban norma budaya dibandingkan pihak prianya. Orang Asia Amerika yang cenderung banyak melangsungkan perkawinan antarras mulai merasakan kecemasan karena kurangnya potensi adanya perkawinan diantara mereka. Banyak pria Asia-Amerika tetap tidak kawin karena kurangnya ketersediaan wanita Asia-Amerika yang dipilihnya ( (Fujino 1997). Refleksi yang sama juga dapat dilihat pada tingginya perkawinan antarsuku di Indonesia. Terutama bagi mereka yang tinggal di Jakarta. Mereka mungkin mengalami kesulitan memilih pasangan dari sukunya sendiri, termasuk dari sukunya yang sudah tercampur, karena mereka yang sudah tercampur mencari pasangan suku lain lagi.

Dari berbagai analisis, saya menyimpulkan bahwa alasan orang melakukan perkawinan campuran dapat dilandasi oleh beberapa hal :

Pertama, karena tempat-tempat yang ditinggali oleh suatu kelompok, sudah tidak dominan lagi. Misalnya orang Arab atau China, dulu ditempatkan dalam koloni khusus oleh Belanda. Di Jakarta, kita juga dapat temui, Kampung Ambon, Kampung Makasar, dll. Mengingat perkembangan penduduk, orang suku atau ras tersebut sudah tidak memungkinkan lagi tinggal dalam komunitas yang sama. Akibatnya, kekerabatan menjadi kian longgar. Perkumpulan di antara mereka semakin membutuhkan energi, biaya dan waktu. Selain itu mereka juga makin kurang paham budaya aslinya. Mereka bahkan lebih memahami dan bahkan merasa nyaman dengan budaya setempat. Kepekaan terhadap dimensi-dimensi tersembunyi/aturan-aturan tak tertulis dalam suatu budaya yang hanya dipahami oleh anggota budaya tertentu (Hall, 1990) dari budayanya, kian luntur sehingga mereka merasa bukan bagian dari budayanya. Sangat mungkin demikian halnya ketika orang Itali tidak lagi tinggal di Itali, melainkan di Amerika.

Kedua, pendidikan seseorang yang kian tinggi membuat mereka berpeluang melihat perspektif-perspektif baru. Kesamaan pandangan menjadi penting, sementara pilihan pada orang beretnis sama dengan pendidikan setaraf menjadi kian terbatas, terutama bagi kelompok minoritas. Intensitas kumpul dengan etnis sejenis berkurang. Sementara itu kelompok profesional atau kesibukan dalam kelompok terdekatnya lebih menyita perhatian, potensi untuk memperoleh pasangan yang sepemikiran akan kian mudah.

Ketiga, budaya patriarki, bisa jadi membuat perempuan yang ingin mengaktualisasikan dirinya dimasyarakat, melihat potensi masalah budaya bila bersuamikan laki-laki dari budaya yang dengan tegas menujukan aktifitas domestik ketimbang publik, pada perempuan.

Keempat, tipe keluarga pluralistik (mengacu pada pendapat Mary Anne Fitzpatrick, dalam Littlejohn 2005) juga dapat memberikan peluang perkawinan campuran. Keluarga bertipe pluralis, tidak merasa perlu mengontrol anak. Keputusan mereka dievaluasi berdasarkan kebaikan.. Orang tua yang pluralistik cenderung bersifat independen dan bahkan tidak konvensional dalam pandangannya tentang perkawinan.
Ketika anak memiliki calon bukan dari etnisnya dan dapat meyakinkan orang tuanya bahwa ini pilihan terbaik, orang tua pluralis cenderung dapat menerima.

Kelima, figur yang diidolakan seperti ayah, ibu, atau kerabat dekatnya, tidak mencerminkan contoh pribadi yang diharapkannya. Misalnya figur penting tersebut melakukan kekerasan fisik maupun psikis, atau tidak berperilaku seperti yang dikatakannya. Beberapa rekan menyatakan alasan memilih pasangan bukan dari etnisnya karena orang tuanya tidak memberikan contoh yang menurutnya baik.

Keenam, faktor ekonomi. Fenomena ini tampaknya lebih kuat terjadi pada kaum perempuan. Misalnya, perempuan yang memilih pasangan bukan dari etnisnya karena diantara calon yang tersedia saat itu, calon pasangan bukan seetnis, lebih berprospek secara ekonomis bagi kehidupannya kelak dibandingkan calon pasangan seetnis.

Ketujuh, adanya kesepakatan kolektif dibudaya tertentu untuk memberikan kelonggaran bagi pria untuk kawin dengan etnis lain. Misalnya pada orang Arab, meski ada keinginan kuat pada keluarga memiliki menantu orang Arab, namun tentangan terhadap calon menantu wanita non-Arab tidak setinggi pada calon menantu pria non-Arab. Dari tulisan ini saya ingin mengajak untuk melihat sisi lebih akan alasan terjadinya perkawinan campuran. Meskipun tidak dapat dipungkiri, perkawinan, baik biasa maupun campuran, semuanya didasarkan pada hubungan dua orang manusia. Bukan antara dua ras atau budaya. Umumnya, mereka tertarik satu sama lain karena merasa pasangannya perhatian, peduli, nyaman diajak bersama. Namun demikian, melalui pembahasan ini, mungkin anda dapat lebih beromantika memikirkan mengapa melakukan perkawinan dengan pasangan anda ini.

(Penulis adalah peneliti perkawinan antarbudaya)